Translate

Friday 10 June 2011

Hukum Perdata

BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Penelitian
Hukum sangat dibutuhkan untuk mengatur kehidupan bermasyarakat dalam segala aspeknya, apakah itu kehidupan sosial, kehidupan politik, budaya, pendidikan, apalagi peranannya dalam mengatur kegiatan pembangunan ekonomi. Dalam kegiatan pembangunan ekonomi inilah justru hukum sangat diperlukan agar setiap langkah kebijakan yang diambil oleh pemerintah memiliki dasar hukum yang kuat dan nilai kepastian hukumnya.
Pada kegiatan pembangunan ekonomi Indonesia, peranan perbankan mempunyai pengaruh yang amat menentukan. Perbankan layaknya jantung dalam tubuh makhluk hidup, berfungsi untuk mengalihkan darah yang menjaga kehidupan makhluk tersebut. Perbankan mengalirkan dana dalam suatu sistem pembayaran yang kompleks sehingga berbagai transaksi dan kegiatan produksi dapat berjalan dengan lancer. Fungsinya yang khusus dalam mengelola sistem pembayaran menjadi semangin bersifat abstrak dalam lalu lintas pembayaran modern.
Dalam rangka menciptakan suatu sistem perbankan nasional yang kuat sekaligus sehat diperlukan adanya penyesuaian dan penyempurnaan berbagai kebijakan. Adanya penyesuaian dan penyempurnaan kebijakan di bidang perbankan nasional diharapkan mampercepat terciptanya suatu sistem perbankan nasional yang efisien dan efektif. Berkaitan dengan usaha-usaha melakukan penyesuaian dan penyempurnaan berbagai kebijakan di bidang perbankan nasional, sejak tahun 1983 pemerintah secsra bertahap dan berkesinambungan mengeluarkan berbagai deregulasi di bidang keuangan pada umumnya dan perbankan pada khususnya.
Adanya deregulasi yang bertahap dan berkesinambungan tentunya lebih banyak memberikan dampak yang positif terhadap perkembangan dan pertumbuhan perbankan nasional. Namun demikian sebagai akibat dari adanya perubahan lingkungan bisnis yang sangat cepat dan dinamis, sangat dimungkinkan terjadinya berbagai distorsi dalam implementasi masih banyak kebijakan yang semula diperkirakan akan menberikan dampak positif ternyata justru sebaliknya. Salah satu dampak sampingan dari adanya berbagai paket deregulasi adalah terjadinya krisis ekonomi pada pertengahan tahun 1997 yang pada akhirnya juga merambah pada sektor perbankan nasional.
Penyebab terjadinya krisis berasal dari masalah internal ekonomi nasional, terutama lemahnya lembaga keuangan (perbankan). Dan berasal dari perubahan sentimen pasar, masalah eksternal dari suatu ekonomi nasional, yang diperkuat dengan dampak penularan dari negara – negara tetangga. Kedua penyebab krisis ini memang menyebabkan terjadinya proses deteriorasi secara sistematik sehingga menimbulkan dampak yang sangat besar. Gejolak ekstren pada pasar palas merupakan dampak penekanan nilai mata uang di kawasan, setelah terjadi perubahan sentiment pasar dari optimisme yang berlebihan. Sedangkan ekonomi nasional diwarnai dengan struktur keuangan (perbankan utama) yang lemah dan sektor riil, yang juga lemah (ekonomi biaya tinggi).
Sebagaimana diketahui, krisis nasional ini terjadi dengan tertekannya nilai tukar uang Rupiah sebagai dampak meluasnya tekanan terhadap mata uang Bath, Peso, Ringgit, karena meningkatnya permintaan terhadap mata uang Dollar Amerika Serikat yang luar biasa di negara – negara Asia Tenggara, sehingga gejolak melemahnya kurs Rupiah menjalar menjadi masalah tertekannya perbankan. Dengan struktur keuangan (perbankan) yang masih lemah dan sektor riil yang juga lemah, gejolak tersebut dapat menimbulkan krisis yang meluas, dari sektor moneter ke ekonomi nasional secara sistemik, dan akhirnya seluruh aspek kehidupan masyarakat termasuk social politik.
Dalam Undang – undang Dasar 1945 pengaturan mengenai kedudukan nilai Rupiah dan kestabilan nilai Rupiah ini terdapat dalam Pasal 23 B dan 23 C 1945 setelah amandemen empat, pada penjelasannya dinyatakan bahwa harga uang penting untuk ditetapkan karena kedudukan uang mempunyai pengaruh yang besar atas masyarakat. Berhubungan dengan itu, perlu ada macam dan rupa uang yang akan diperlukan oleh rakyat sebagai pengukur harga untuk dasar menetapkan harga masing – masing. Tidak naik – turun karena keadaan yang tidak teratur.
Oleh karena kedudukan dan kestabilan nilai uang sangat berpengaruh atas masyarakat seperti yang tercantum pada penjelasan pasal 23 B dan 23 C UUD 1945 di atas, sehingga pada saat krisis berlangsung pengaruh atas ketidakpercayaan masyarakat terhadap nilai mata uang Rupiah menjalar menjadi ketidakpercayaan terhadap perbankan yang menimbulkan krisis perbankan. Krisis perbankan kemudian menjalar kepada nasabah mereka (mahalnya atau hilangnya kredit bank), sehingga masalah sector keuangan langsung berpengaruh negatif terhadap sektor riil (kegiatan konsumsi, produksi, perdagangan dan investasi).
Dampak dari krisis berkepanjangan ini pun masih dirsakan sehingga saat ini yang dirasakan oleh semua lapisan masyarakat. Mulai dari kenaikan harga barang dan jasa yang tidak terkendali, terganggunya kegiatan produksi, membengkaknya angka pengangguran hingga bertambahnya jumlah penduduk di bawah garis kemiskinan. Hampir semua indikator makro ekonomi Indonesia menunjukkan hal – hal yang selalu negatif. Bila dilihat dari sektor ekonomi, paling tidak ada tiga sektor yang terkena dampak paling parah, yaitu industri, konstruksi, dan tentu saja perbankan, semuanya menghadapi hal yang sama yaitu tidak mempunyai kemampuan lagi untuk membiayai kewajiban – kewajiban Dollar-nya. Malahan, untuk sector perbankan yang disebutkan di atas, kesulitan bertambah dengan munculnya krisis kepercayaan masyarakatyang luar biasa pada system dan kemampuan perbankan yang ditandai dengan “rush” perbankan. Padahal sebagaimana diketahui bahwa kepercayaan merupakan asas terpenting pada sector perbankan dalam menjalankan kegiatannya.
Krisis moneter dan ekonomi yang berat yang dihadapi oleh bangsa Indonesia diakui oleh Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR) selaku lembaga negara tertinggi Republik Indonesia. Tap MPR No. X/MPR/1998 Tentang Pokok – pokok Reformasi Pembangunan Dalam Rangka Penyelamatan dan Normalisasi Kehidupan Nasional Sebagai haluan Negara menggambarkan Keadaan krisis yang dihadapi bangsa Indonesia sebagai berikut :
....”Namun dewasa ini bangsa Indonesia tengah mengalami krisis berat yang gejalanya dimulai dari krisis moneter dan ekonomi. Krisis ini kemudian berkembang meliputi seluruh aspek kehidupan politik, ekonomi, social, yang ditandai dengan rusaknya tatanan ekonomi dan keuangan penganguran yang meluas ,dan kemiskinan yang menjurus pada ketidak berdayaan masyarakat dan mengakibatkan timbulnya krisis kepercayaan masyarakat terhadap pemerintah”.

Lebih lanjut TAP MPR menyatakan:
“Keberhasilan pembangunan yang telah dicapai selama tiga puluh dua tahun Orde Baru telah mengalami kemerosotan yang memprihatinkan,karena terjadinya krisis moneter pertengahan tahuin 1997, dan berlanjut menjadi krisis ekonomi yang lebih luas.Landasan ekonomi yang dianggap kuat, ternyata tidak berdaya menghadapi gejolak keuangan eksternal serta kesulitan-kesulitan makro dan mikro ekonomi”.

Dengan demikian menjadi jelas bahwa MPRsendiri mengangap telah terjadi krisis yang dimulai pada pertengahan tahun1997.DEitengah tekanan kondisi krisis yang semakin berat akhirnya pemerintah Indonesia menyepakati negosiasi yang bernama letter of intent(lol) dengan International Monetary Fund9ImF0, yaitu dengan jalan penyediaan dana bantuan likuiditas yang dalam hal ini dana tersebut dikeluarkan oleh Bank Indonesia yang sesuai dangan pasal 34 ayat (1) Undang-undang No.13 Tahun 1968 tentang bank Sentral bahwa bank Indonesia sebagai “Pemegang kas pemerintah”.Dana bantuan tersebut adalah bantuan likuiditas Bank Indonesia(untuk selanjutnya disebut BLBI), merupakan bantuan terhadap bank-bank yang mengalami kesulitan likuiditas untuk membantu kesulitan disektor perbankan yang akan berbdampak pada sector perekonomian Indonesia.
Istilah BLBI baru dikenal sejak permulaan tahun 1998. Istilah ini muncul semenjak Indonesia menjalankan pemulihan ekonomi dengan mendukung IMF.Kebijakan pemberian BLBI tersebut sebagai implikasi dan kebijakan moneter yang melanda Indonesia mulai pertengahan tahun 1997, perekonomian nasional mengalami likuiditas.BLBI merupakan kebijakan yang lazim dilakukan setiap bank sentral di hampir semua Negara, sebagai pelaksanaan fungsi bank sentral selaku penyedia pinjaman dana likuiditas terakhir atau lebih dikenal dengan lender of last resort . BLBI yang pada awalnya merupakan salah satu instrument yang dimiliki bank sentral yang ditetapkan oleh pemerintah Indonesia untuk digunakan sebagai “Senjata pamungkas” dalam menghadapi serangan krisis, guna menghindari kehancuran dan kelumpuhan system perbankan serta perekonomian pada umumnya.
Belakangan malah menjadi masalah baru yaitu pemyimpangan-penyimpamgan dalam penyaluran dan penggunaan dana BLBI yang berdanpak panjang bagi keadaan perbankan dan perekonomian Indonesia.
Berdasarkan hal tersebut di atas,naka penulis ingin mengangkat masalah yang berkaitan dengan judul : “ANALISIS YURIDIS TERHADAP DAMPAK PEMBERIAN BANTUAN LIKUIDITAS BANK INDONESIA (BLBI)BAGI PERBANKAN DAN PEREKONOMIAN INDONESIA”.

B. Perumusan Masalah
Berdasarkan uraian latar belakang diatas dapat dirumuskan beberapa masalah sebagai berikut :
1. Bagaimanakah hukum positif Indonesia mengatur masalah pemberian BLBI terhadap bank-bank yang mengalami kesulitan likuiditas guna mengatasi krisis perbankan dan ekonomi?
2. Bagaimanakah dunia perbankan memamfaatkan BLBI sebagai bantuan guna pemulihan dunia perbankan akibat krisis ekonomi yang terjadi ?
3. Upaya-upaya apa sajakah yang dapat dilakukan untuk menaggulangi dampak buruk atas pemberian BLBI bagi dunia perbankan ?

C. Tujuan Penelitian
Adapun yang menjadi tujuan penelitian yang penulis ingin dicapai adalah :
1. Untuk mengetahui bagaimana hukun positif Indonesia mengatur masalah pemberian BLBI terhadap bank – bank yang mengalami kesulitan likuiditas guna mengatasi krisis perbankan dan ekonomi.
2. Untuk mengetahui bagaimana dunia perbankan memanfaatkan BLBI sebagai bantuan guna pemulihan dunia perbankan akibat krisis ekonomi yang terjadi.
3. Untuk mengetahi upaya – upaya apa saja yang dapat dilakukan untuk menanggulangi dampak buruk atas pemberian BLBI bagi dunia perbankan.

D. Manfaat Penelitian
Manfaat penelitian dapat dilihat dari dua sudut, yaitu :
1.Dari sudut teoritis diharapkan :
a. Dapat menjadi bahn dasar penelitian selanjutnya.
b. Dapat menambah pembendaharaan dan pengetahuan terhadap pengembangan ilmu hukum pada umumnya, dan bidang perbankan pada khususnya.
2.Dari sudut praktis diharapkan :
a. Dapat memberikan masukan baru yang menambah pengetahuan terutama mengenai pemberian BLBI bagi bank – bank yang mengalami likuiditas.
b. Dapat menghimpun keterangan serta penjelasan mengenai pemberian BLBI, agar diketahui kelemahan – kelemahan yang menyebabkan pemberian itu tidak berjalan sebagai mana mestinya sehingga berdampak pada perekonomian Indonesia, dan dicari jalan pemecahannya untuk menanggulangi dampak yang buruk, sehingga dapat mempercepat pemuliahan dunia perbankan dan perekonomian Indonesia.

E. Tinjauan Kepustakaan
Ada berbagai jenis fasilitas yang dimiliki oleh bangsa Indonesia, dalam arti yang paling luas, BLBI adalah semua fasilitas likuiditas Bank Indonesia yang diberikan kepada bank – bank, diluar Kredit Likuiditas Bank Indonesia (KLBI). KLBI sendiri adalah merupakan kredit bank Indonesia untuk membantu kegiatan atau sector yang diprioritaskan oleh pemerintah , seperti pengadaan pangan melalui bulog, kredit untuk koperasi unit desa (KKUD), dan kredit untuk koperasi primer bagi anggotanya (KKPA) yang suku bunganya mengandung unsus subsidi karena itu lebih rendahdari suku bunga pasar.
Suatu bank mengalami likuiditas dan tidak dapat menyelesaikannya dengan sumber yang ada,maka bank sentral mempunyai kewajiban membantunya, tentu dengan berbagai persyaratan yang harus dipenuhi. Sebagaimana diketahui, bahkan dalam keadaan normal, tanpa adanya krisis dalam perekonomian, suatu bank dapat saja menghadapi masalah kesenjangan likuiditas karena kewajiban mrembayar yang lebih besar dari penerimaan dana. pembayaran dalam pengenaan dokumen.
Ketika krisis melanda perbankan setelah adanya keketatan likuiditas yang luar biasa, penarikan dana nasabah yang juga terdorong oleh ketidakpastian dalam suasana krisis telah menimbulkan tekanan krisis yang luar biasa pada banyak bank.Masalah likuiditas yang banyak dialami oleh bank tidak dapat ditutup dengan sumber –sumber yang ada pada waktu keadaan normal. Pasar Uang Antar Bank (PUAB) terkotak – kotak sehingga dan tidak dapat diharapkan oleh bank – bank yang dianggap lemah oleh pasar.
BLBI pada hakekatnya adalah kredit likuiditas darurat yang merupakan salah satu alat kebijakan bank Indonesia dalam melaksanakan 3 (tiga) fungsi pokoknya selaku bank sentral sebagaimana diatur dalam undana –undang no.13 Tahun 1968 tentang bank sentral dan Undang – undang No.10 Tahun1998 tentang perbankan dan hasil perubahan Undang –undang No.7 Tahun 1992.
Dalam pasal 32 ayat(3) Undang –undang No.13 Tahun 1968 tentang Bank Sentral , Bank Sentral Indonesia sebagai lender of last resort yang selengkapnya berbunyi sebagai berikut :
“Bank dapat pula memberikan kredit likuiditas kepada bank – bank untuk mengatasi kesulitan likuiditas dalam keadaan darurat”.

Dalam penjelasan umum Undang – undang No.13 Tahun 1968 angka 111 huruf b, berbunyi anatara lain :
“Sebagai “banker`s bank”, bank sentral dapat memberikannkredit likuiditas kepada bank untuk meningkatkan produksi dan lain lain sesuai dengan program pemerintah, sedangkan sebagai “lender pf last resort”,bank untuk mengatasi kesulitan likuiditas yang dihadapinya dalam keadaan darurat”.

Dari uraian di atas,terminology BLBI merupakan istilah lain dari terminology Undang – undang yang menamakanya “Kredit likuiditas”kepada bank untuk mengatasi kesulitan dalam keadaan darurat yang sering disebut sabagai “kredit likuiditas darurat”. Pergantian terminology tersebut tersebut dilakukan setelah dilakukan setelah npemerintah meminta bantuan tekhnis kepada IMF. Pada waktu itu IMF menggunakan terminology “liquidity support” terhadap fasilitas yang diberikan Bank Indonesia yang kemudian diterjemahkan menjadi Bantuan Likuiditas Bank Indonesia.
Terminologi tersebut dinilai lebih tepat untuk membedakan fasilitas lain yang diberikan Bank Indonesia kepada perbankan sebagai mana dimaksud dalam pasal 3 ayat(2) Undang –undang No.13 Tahun 1998 tentang Bank Sentral ,yaitu likuiditas yang diberikan kepada perbankan dalam rangka mendukung program yang diprioritaskan pemerintah dalam rangka pembangunan nasional (KLBI).
Dan selanjutnya dalam pasal 37 ayat (2) Undang –undang No. 7 Thun 1992 tentang perbankan , menyatakan :
“Dalam suatu bank mengalami kesulitan yang membahayakan kelangsungan usahanya, maka Bank Indonesia dapat mengambil tindakan lain sesuai dengan peraturan perundang –undangan yang berlaku”.

Dalam penjelasan tersebut selanjutnya dinyatakan :
“Bank Indonesia dapat melakukan langkah untuk menyelamatkan bank yang mengalami masalah yang membahayakan kelangsungan usahanya atau tindakan likuidasi. Langkah penyelamatan tersebut dilakukan terhadap bank sebagai lembaga kepercayaan masyarakat”.

Dalam pasal 37 A ayat (1) Undang –undang No. 10 Tahun 1998 tentang Perubahan Undang –undang No. 7 Tahun 1992 tentang perbankan yang menyatakan sebagai berikut :
“Apabila menurut penilaian Bank Indonesia terjadi kesulitan perbankan yang membahayakan perekonomian nasional , atas permintaan Bank Indonesia, pemerintah setelah berkonsultasi kepada Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia dapat membentu badan khusus yang bersifat sementara dalam rangka peyehatan masyarakat”.
Pasal 37 A ayat (3) Undang –undang No. 10 Tahun 1998nmeberikan wewenang luar biasa kepada badan khusus tersebut, karena selain berwenang sebagai mana dimaksud dalam pasal 37 A aayat (1) badab khusus ini juga mempunyai wewenang sebagai mana diatur dalam pasal 37 A ayat (3) huruf a sampaidengan huruf n yaitu melakukan segala tindakan yang dianggap perlu terhadap bank yang berada dibawah kewenagan badan khusus tersebut dalam rangka penyehatan, dan pasal 37 A ayat (4) yang menentukan bahwa tindakan – tindakan badan khusus berdasarkan wewenangnya adalah sah berdasarkan undang-undang ini.
Berdasarkan kenyataan tersebut pasal 37 a Undang –undang No.10 Tahun 1998 merupakan ketentuan Undang – undang No. 10 Tahun 1998 merupakan ketentuan undang –undang secara surut ini paul scholten dalam bukunya yang berjudul “algemen Deel Mr.C.Asser`s Handleining lot de beoefening van Nederlandsch bunerlijk Recht “menyatakan sebagai berikut :
“Natulijk kan hij(maksudnya pembuat undang –undang/wetgever)bepelen dat in de toekomst ten aanzien van hetgen in het verleden geschiedde gehandeln zal worden , alsof de al bestond, dien hij thanks afwiking in strijd is met een rechtbeginsel –dit toont al, dat de niet terugwerkende krawerkende krach keach,gelijk men meestal zegt –waartoe de wetgever wel wel kan , maan niet dan in uittersen noord behonrt over te gaan”.

Yang kemudian diterjemahkan kedalam bahasa Indonesia oleh Sulistio dan a.Hakim G .Nusantara sebagai berikut :
“Dengan sendirinya pembuat undang –undang dapat menentukan bahwa untuk dikemudian hari orang wajib bertindak sesuai dengan apa yang terjadi sebelum ketentuan itu dibuat, seolah – olah ketentuan itu telah ada , ketentuan mana sekarang telah dinyatakan olrh pembuata undang – undang .Ini sudah menunjukan bahwa penyimpangan itu bertentangan dengan azas tidak berlaku surutnya ketentuan undang – undang sebagaimana lazimnya dikatakan orang namun pembuat undang – undang dapat melakukannya, hanya tindakan itu hanya dapat dilakukan dalam keadaan sangat darurat”.

Sesuai dengan pendapat Paul scholten di atas , maka Pasal 37 a Undang – undang No. 10 Tahun 1998 adalah ketentuan undang –undang yang berlaku surut Karena pasal itu dibuat berdasarkan pengalaman dan fakta –fakta tang terjadi sebelumnya,yaitu sejak terjadi krisis perbankan hingga krisis berakhir. Dan se4suai peraturan pemerintah No. 17 tahun 1999 tentang BPPn, pada tanggal 27 Februari 2004 BPPN dibubarakan.
Dari pembahasan diatas menunjukkan bahwa menurut hokum , pemberian BLBI dilakukan Bank Indonesia selaku lender of resort sesuai pasal 32 ayat (3) Undang –undang No. 13 tahun 1968 tentang Bank sentral , dan diberlakukan dalam keadaan darurat (krisis perbankan, ekonomi dan moneter).
Oleh karena itu hal tersebut merupakan hal yang sangat penting , sehingga dapat dijadikan kerangka pemikiran bagi penulis dalam melakukan penelitian.

F. Metode Penelitian
Adapun teknik pengumpulan data yang digunakan dalam penelitian dilakukan dengan :
1. Metode Pendekatan
Dalam penelitian ini digunakan metode pendekatan yuridis normatif, yaitu suatu metode yang digunakan untuk mengolah data yang diperoleh dari penelitian yang ditujukan untuk peraturan perundang –undangan atau sumber hukum yang lain yang berkaitan dengan masalah perbankan dan pemberian BLBI, yaitu dengan cara menghubungkan objek penelitian hukum di Indonesia.
2. Teknik Pengumpulan data yang dilakukan adalah sebagai berikut :
a. Penelitian Kepustakaan , yaitu dengan pengklasifikasian, penelaahan, pencataan yang lengkap dan terhadap data sekunder yang terdiri dari :
1) Bahan Hukum Primer, seperti Undang – undang No. 13 Tahun 1968,Undang –undang No. 10 tahun 1998, dan peraturan perundangan-undangan lainnya.
2) Bahan Hukmm Sekunder, seperti buku-buku panduan yang berkaitan dengan masalah yang diteliti, dan
3) Bahan Hukum tersier, seperti yang berasal dari artikel- artikel majalah dan surat kabar.
b. Penelitian lapangan ,sebagai pendukung kelengkapan data- data, yaitu melakukan wawancara Bank Indonesia selaku pihak terkait dengan masalah pemberian Bantuan Likuiditas Bank Indonesia.
3. Analisis Data
Data dianalisis secara yuridis kualitatif, yaitu analisis dengan penguraian deskriptif analisis, menggambarkan peraturan perundang- undangan yang berlaku dengan teori –teori hokum dan praktek pelaksanaan hokum positif yang menyangkut permasalahan yang diteliti, yaitu pemberian BLBI.


DAFTAR KEPUSTAKAAN

A. BUKU

Bank Indonesia. 2002. Mengurai Benang Kusut BLBI. Jakarta : Bank Indonesia.

Djiwandono, J. Soedradjad. 2001. Bergulat dengan Krisis dan Pemulihan Ekonomi Indonesia. Jakarta : Pustaka Sinar Harapan.

Suhardi, Gunarto. 2002. Peranan Hukum dalam Pembangunan Ekonomi. Yogyakarta : Universitas Adma Jaya.



B. PERATURAN PERUNDANG - UNDANGAN
Undang - undang Nomor 13 Tahun 1968 Tentang Bank Sentral.
Undang – undang Nomor 7 Tahun 1992 Tentang Perbankan.

No comments:

Post a Comment